Juni 22, 2023

Prosa Sadrah

Bagaimana mungkin semua orang harus memaksakan keinginannya?

Keseimbangan diciptakan bukan semata untuk memuaskan kaum-kaum yang berada di bawah, baik fisik ataupun keberuntungan, tapi untuk menyadarkan bahwa tidak semua hal harus dibawa menjadi kenyataan. 

Bayangkan semua orang akan memiliki Ferrari, lalu kuda-kuda itu akan tetap berada di kandangnya, berkembang-biak hanya untuk memiliki keturunan, bagaimana kita bisa melihat estetika kehidupan jika setiap inci pengelihatan hanya ada mesin dan mesin.


Lalu, Bagaimana mungkin kamu harus tetap memaksakan keinginanmu?

Takdir tidak bisa didengar, tidak bisa dirasakan, namun bukankah statistika yang diajarkan saat kita duduk di kursi sekolah itu mengajarkan probabilitas agar kita tidak mensia-siakan tenaga untuk sesuatu yang bahkan belum tentu kamu butuhkan.

Bayangkan kamu sudah berjalan sejauh tiga ratus ribu empat ratus dua belas kilometer, lalu sepatu yang selama ini kamu inginkan sampai harus menyisihkan delapan puluh tujuh persen penghasilanmu itu, kini sudah habis, diskontinu, melihat semua orang memakai dan sangat senang dengan sepatu yang sama, senyum bahagia mereka, apakah menjadi mimpi bahagia buatmu? Lalu mengingat kamu harus kembali berjalan sejauh tiga ratus ribut empat ratus dua belas kilometer, atau sesederhana memakai uang sisihan penghasilanmu itu untuk membeli tiket kereta untuk pulang.


Namun, Bagaimana mungkin aku harus tetap memaksakan kehendakku kepada tiap otak kalian yang membaca ini?

Harusnya sudah sadrah, tidak mempengaruhi orang lain, hanya karena tidak pernah mampu menggenggam tiap apel yang sudah jelas-jelas ada di depan mata, bukan berarti hidupku hancur kan? Aku hanya perlu sadrah, bukan berarti menyerah, iya kan?

Bayangkan, tujuh belas ribu pohon apel di sebuah kebun, sudah susah-susah mencari yang benar-benar matang, lalu aku melihatnya, lalu naik ke dahan, akhirnya jatuh kepala lebih dulu, berdarah tapi tidak menyerah, lantas apa? mencari yang benar-benar matang, lagi, namun di di antara enam belas ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan pohon lainnya

Sudah susah-susah menemukannya lagi, sudah menaiki dahan dengan segala pengaman yang kusiapkan, namun nyatanya tak sesuai perhitungan, setelah sadar, apel-apel itu memang sangat tinggi di sana, tanganku terlalu pendek untuk menjangkau tiap-tiap merahnya.

Sadrah, atau apakah aku tidak seharusnya berada di kebun ini?

Agustus 09, 2022

Narasi Melankoli (VII)

Di lain waktu, aku merasakan ketidakhadiran hangat yang dalam kurun waktu singkat dapat mendekap, beradaptasi dengan mengisi yang agaknya hampa di beberapa ruang dalam tubuh, khayal yang tidak terasa asal.

Di lain waktu, aku merasakan ketidakhadiran.


Di lain ruang, hadirmu membawa kebahagiaan bagi tiap-tiap sudutnya. Pondasi-pondasinya, dinding, lantai, hingga langit-langitnya, yang selalu kuirikan menjadi bagiannya, untuk dapat juga merasakan riangnya canda yang kau bawa. “Sehangat apa? Sebahagia apa?” benakku penuh tanya.

Di lain ruang, hadirmu membawa kebahagiaan.


Kita duduk di satu bangku yang sama, di bangku, peron sebuah stasiun, menunggu keretamu yang entah kapan kan tiba, tidak ku diberitahu,

Dari arlojiku, sudah 10 menit kita menunggu, tidak ada satu kata yang terucap.

Darimu, yang entah kenapa aku tak tahu.

Dariku, yang merasakan tembok besar di antara kita.

Khayal yang tidak terasa asal. Terbatas yang entah mungkin tak beralas.


Baru kali ini aku merasakan lantangnya keheningan. Terlalu gaduh untuk hati yang terlanjur nyaman dengan kesepian.

Raga terlihat biasa, namun rohani diselubungi, hadirnya menahan segala katarsis.

Cuaca cenderung cerah, namun suasana terus berubah-ubah, semua seakan dipenuhi katalis.


Satu yang pasti, keretamu akan tiba, kamu menaikinya, menuju perjalanan jauh yang entah kemana, meninggalkanku dengan segala macam aroma stasiun yang menjadi saksi sebuah kepergian.

Kepergian, entah kepergianmu, atau kepergian asa yang pernah terbangun.

Lalu satu yang tak pasti, sampai keretamu tiba, mungkinkah keheningan ini terpecahkan?

Jika memungkinkan, “Sehangat apa? Sebahagia apa?” benakku penuh tanya.

Depok, 22 Juni 2006
-Dera-

Mei 04, 2020

Terjebak Takdir

Mencitakan diri menjadi Raja dan Ratu, membumbung tinggi angan dari rendah usia sampai titik tertentu, buta akan realita, menutup sendiri mata dari rutinitas yang mengekang.
Dicitrakan diri menjadi Baja dan Batu, dibuang ke dalam sungai keputus-asaan, dibukakan matanya terhadap kenyataan yang pahit dan sulit.

Kami tidak mati karena cita-cita yang tidak didapati.
Kami tidak luluh sebab angan yang runtuh.
Kami tidak menyerah hanya karena terlihat pasrah.
Langkah kami berhenti akibat pilihan yang ditabirkan.

Takdir getir tak bisa dielak.
Kaki terkilir hingga tangan terpelintir, yang terjadi akan tetap bergerak.
Seolah melawan arus, aku mencoba untuk mendongak, hanya kaki dengan badan tertutup langit, sesosok penyesalan.

Apa yang disesali?
Pilihan?
Gerakan?
Atau ancaman?

Takdir di mata semakin kelabu, dilawan justru menjadi tabu.
Disisakan pilihan hanya satu, menerima, selebihnya kami dilarang tahu.

Malam ini aku mendengar dua tangisan, di balik dada ini, dan di balik tembok yang satu lagi.
Semakin isak yang terdengar, semakin berdebar hati terasa pengar.

Andaikan kami boleh menyihir, akankah kami tetap terjebak takdir?

Desember 14, 2019

Selubung.

Kita tersadar dalam keadaan bangun, tapi tak sadar kepercayaan mulai menurun. Setiap lawan bicara dijadikan orang tak dikenal, padahal sahabat lama, padahal pernah dipercaya. Sudah tidak lagi mengenal ampun, yang suka bualan atau yang sudah mapan, semua diperlakukan sama. Bukan untuk terlihat setara, hanya sudah sulit percaya.

Suatu saat di dalam dada akan merebak, terdesak karena terlalu sesak, yang masak-masak sudah kembali terbelalak, lupa kenapa dulu sempat marak.

Salah kita untuk tidak saling bicara, salah logika yang takut untuk membaginya, atau salah hati yang sepakat untuk tidak bisa menerima.
Semua jadi salah, salah kata-kata karena terpilih untuk sulit dicerna, atau salah suara karena merambat untuk ditolak oleh telinga.
Semua jadi salah, bahkan kehidupan yang ternyata dibunuh oleh kematian, atau kematian yang ternyata lahir dari kehidupan.

Semua dirundingkan, didiskusikan masing-masing bersama otak dan hati, sendiri, sampai nanti menjadi asumsi yang membentuk pemikiran beracun. Menjadi racun yang hanya bisa dikonsumsi pribadi, dimuntahkan dan ditenggak berulang kali, repetisi menjadi remedi tanpa evaluasi.
Tidak dibagi kepada siapapun, karena kita tahu bagaimana reaksi mereka, ralat, karena reaksi mereka dalam asumsi kita akan menghancurkan suasana yang sudah dibentuk di dalam hati.

Dipendam, hingga menjadi luka, luka karena tidak bisa bercengkrama.

September 15, 2019

Argumen hanya milikmu

Segala argumen hanya milikmu.
Kamu yang berego besar, mengalahkan rasa peduli dan keingintahuan akan kebenaran.

Segala argumen hanya milikmu.
Kamu yang membaca banyak hanya untuk mendukung apa yang kamu yakini, melupakan bahwa hidup ialah perihal keseimbangan.

Segala argumen hanya milikmu.
Kamu yang tak mau memahami lawan-lawanmu, menolak fakta bahwa kamu sama sekali tidak tahu bagian yang vital untuk mereka.

Sosial takkan berkembang, semua lebih memilih diri sendiri. Yang dipercaya akan berkembang dan bercabang, yang diamal dan dibual hanya dibatas oleh helai rambut, sisanya omong kosong perihal kemajuan.

Dan tulisan ini takkan bertahan lama, kalah dengan ego yang dipenuhi harapan, ekspektasi dan tulisan akan perwakilan perasaan.
Dan tulisan ini takkan bertahan lama, terlalu bias isi dengan yang ditujukan.
Dan tulisan ini hanya akan menjadi milik mereka yang mau mengerti dan paham tanpa diberitahu.

Juni 13, 2019

Narasi Melankoli (VI)

Kita kadang meragukan yang kita baca, cenderung mengacuhkannya, dibanding mencernanya. Dan yang sudah kubaca-baca selama ini, hanyalah tentang ketidak-tahuan dan kepasrahan.

Hidup macam apa yang dimiliki orang-orang dengan harapan di sekelilingnya? Oh, seharusnya aku mengingatnya, masa-masa dimana aku adalah bagian dari kumpulan orang itu, masa dimana Biana masih mempercayaiku.

Biana.
Sampai kapan dia akan menjadi bayang-bayangku. atau justru aku yang selama ini menjadi bayang-bayangnya? Akan sangat menyesalkan jika memang sebaliknya.

Biana.
Itu adalah sepertinya baru kemarin aku masih bisa melihatmu tertawa, dari jarak yang bukan seperti ini, jarak yang memaksaku menyembunyikan keberadaanku, karena aku tau suatu saat nanti itu akan mengganggu hidupmu.

"Kamu mulai menjauh ya.."

Setelah kalimat itu, yang kuharapkan keluar adalah namaku, 'Dera'. Tapi nyatanya tidak.

"Kamu mulai menjauh ya, Biana"

Tapi semua yang direka saat mulut tertutup, berakhir menjadi sebuah kalimat-kalimat urungan yang selamanya hanya akan menekan benak untuk minta diucap. Sampai nanti kita tau, seharusnya kita tak menciptakan ekspektasi yang jauh dari relevansi yang kita butuhkan.

Bagaimana aku tau kalau memang Biana yang aku butuhkan untuk berada di sampingku sekarang, untuk mengaduk gula agar larut dalam kopi, agar tidak lagi dapat dibedakan dan menjadi entitas baru yang mempunyai makna baru. Bagaimana aku tau?

Bagaimana jika yang aku butuhkan adalah Biana untuk tidak berada di sini, untuk kepekaanku mengetahui bahwa gula dan kopi adalah dua hal yang berbeda, dan bukan sesuatu yang selamanya harus dinikmati secara bersamaan. Bagaimana jika seperti itu?

Bagaimana jika ekspektasiku adalah untuk tidak menciptakan Biana dalam kehidupanku, agar Biana adalah bukan orang yang menghampiri di saat itu, di saat keterpurukan dan hari kelam memberikan rasa gamang pada hati yang sudah tinggi ini. Bagaimana?

Bagaimana pun itu, Biana, aku harap kamu bahagia.
Aku harap kamu dapat bahagia.

Depok, 17 Maret 2006
-Dera-

Januari 24, 2019

Kita didera

Kita jatuh, tapi tidak sampai luruh.
Kita pupus, tapi tidak sampai mampus.
Kita didera, tapi tidak sampai binasa.
Namun,
Kita dicoba, tapi tidak pernah bisa.

Kita sudah akan menjelang dewasa, lalu pilihan yang kita punya dengan leluarsa, lalu usia yang kadang lupa sudah tak belia, semua itu akan menjadi pertimbangan dan rintangan untuk membunuh kita dengan alasan kita sendiri..

Kita sudah sendiri dengan kaki yang tak seperti lalu, yang dituntun dulu baru bisa maju. Seharusnya.

Atas nama cobaan yang diberikan, kita lebih memilih untuk menderita melewatinya, dibanding instan terbunuh sebelum memilihnya. Kita lebih memilih untuk mati terhormat, dibanding jasad kita yang terbaring dipecundangi tanpa bisa apa-apa nantinya.

Atas nama kehormatan, atas nama masa depan, atas nama peradaban, kita didera sampai waktu yang hanya semestalah yang mengetahuinya.